POTENSI ENERGI
ANGIN DI SULAWESI
A. Energi
Angin di Indonesia
Indonesia merupakan negara dengan sumber energi yang melimpah, salah
satunya adalah energi angin. Posisi Indonesia yang berada di garis equator
membuatnya menjadi pertemuan sirkulasi Hadley, Walker, dan lokal. Kondisi ini
membuat Indonesia sebagai negara yang memliki potensi angin yang dapat
dimanfaatkan untuk pengembangan energi terbaharukan, seperti pembangkit listrik
yang bersumber dari angin. Dengan pengembangan energi dari potensi yang
dimiliki tersebut akan dapat membantu memasok energi listrik yang sebelumnya
lebih banyak menggunakan bahan bakar fosil.
Sebenarnya dengan sumber energi angin yang bisa didapatkan secara
cuma-cuma dari alam ini, seharusnya pemerintah bisa memanfaatkannya secara
maksimal untuk menyuplai energi listrik di negara ini. Jika dibandingkan dengan
pembangkit listrik berbahan fosil, tentu pembangkit listrik yang bersumber dari
angin akan lebih efisien. Angin bisa didapatkan secara bebas di alam ini,
sementara untuk pembangkit berbahan bakar fosil maka pemerintah harus memiliki
persediaan terlebih dahulu. Faktanya, pemanfaatan potensi angin ini di
Indonesia masih kurang.
Di Indonesia pengembangan pembangkit listrik tenaga angin masih terbilang
sedikit. Berdasarkan sumber yang penulis baca, sebanyak 5 unit kincir angin
pembangkit berkapasitas masing-masing 80 kW sudah dibangun. Kemudian pada 2007,
menyusul 7 unit lagi dibangun dengan kapasitas yang sama yaitu 80 kW. Ketujuh
unit tersebut tersebar di 4 wilayah di Indonesia, yaitu di Pulau Selayar
sebanyak tiga (3) unit, di Sulawesi Utara dua (2) unit, Nusa Penida, Bali,
serta Bangka Belitung, masing-masing satu (1) unit. Berdasarkan kebijakan
energi nasional, pembangkit listrik energi angin ditargetkan mencapai 250
megawatt (MW) pada tahun 2025.
Perlu pengembangan lagi untuk membangun PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga
Bayu) / Angin sebagai upaya memaksimalkan potensi energi yang sudah tersedia
dalam rangka memajukan dan mensejahterakan masyarakat. Untuk membangun suatu
pembangkit listrik bertenaga angin, diperlukan kondisi-kondisi tertentu agar pembangkit
tersebut dapat bekerja dengan baik. Harus diperhatikan pergerakan angin di
lokasi tersebut, seperti berapa kecepatan anginnya. Minimum kecepatan angin
rata-rata tahunan untuk tempat pembangunan PLTB adalah sebesar 2,5 m/d.
Berikut merupakan tabel mengenai syarat-syarat kecepatan angin yang
dapat digunakan untuk menggerakkan kincir angin.
(sumber : BMKG, 2010)
Kelas angin no. 3 merupakan batas minimum kecepatan angin yang dapat
menggerakkan kincir angin yang berjari-jari sudu satu (1) meter, sedangkan no.
8 adalah batas maksimumnya. Untuk mendirikan suatu pembangkit bertenaga angin
diperlukan informasi-informasi mengenai kecepatan angin di beberapa tempat,
kemudian membandingkan kecepatan angin antara lokasi satu dengan lokasi yang
lain untuk mencari tempat yang dianggap tepat untuk dibangun sebuah PLTB.
B. Analisis
Data Angin di Sulawesi
Data ini penulis dapatkan dari laporan akhir Kajian Potensi Energi Angin
di Wilayah Indonesia Timur oleh BMKG tahun 2010. Data yang diolah menggunakan
software Windrose ini memberikan informasi tentang distribusi arah dan
kecepatan angin dari periode 2003 hingga 2008 di beberapa lokasi di Sulawesi.
Data diperoleh dari 7 stasiun pengamatan meteorologi yang tersebar di wilayah
Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya. Ketujuh stasiun tersebut yaitu stasiun
Toli-toli, Kayuwatu, Majene, Hasanudin, Gorontalo, Kendari, dan stasiun Naha. Selama
6 tahun, yaitu periode tahun 2003 sampai dengan 2008 maka didapatkan data di
masing-masing stasiun sebagai berikut :
1. Toli-Toli
(sumber : BMKG, 2010)
Pada gambar Windrose Plot menunjukkan bahwa arah angin dominan dari
timur sebesar 60% dengan kecepatan angin rata-rata 0.85 m/s, dan hasil diagram
batang menggambarkan prosentase kecepatan angin berada pada kisaran 0 sampai 2.5
m/s sebesar 99.8%. Berdasarkan distribusi arah dan kecepatan angin menunjukkan
bahwa potensi angin yang ada tidak dapat dimanfaatkan untuk sumber energi,
meskipun data arah angin di stasiun Toli-Toli konsisten akan tetapi rata-rata
kecepatan angin di Toli-Toli tidak memenuhi syarat untuk dikembangkan
pembangkit listrik tenaga angin dengan sudu 1 m3 di mana kecepatan
minimalnya adalah 2.5 m/s.
2. Kayuwatu
(sumber
: BMKG, 2010)
Pada gambar Windrose Plot menunjukkan bahwa arah angin dominan dari
barat sebesar 34% dengan kecepatan rata-rata 1.4 m/s, hasil analisis yang
disajikan dengan diagram batang menggambarkan prosentase kecepatan angin
dominan pada kisaran 0 sampai 2.5 m/s sebesar 83.3%, 2.5 - 5 m/s sebesar 13.4%,
5 - 7.5 m/s sebesar 2.9% dan 0.3 % di atas 7.5 m/s. Hasil analisa distribusi
arah dan kecepatan angin menunjukkan bahwa potensi angin yang ada di stasiun
Kayuwatu kecil kemungkinannya untuk dimanfaatkan untuk sumber energi, karena
syarat untuk dikembangkan pembangkit listrik tenaga angin dengan sudu 1 m3
adalah daerah yang mempunyai kecepatan angin di atas 2.5 m/s.
3. Majene
(sumber : BMKG, 2010)
Pada gambar Windrose Plot menunjukkan bahwa arah angin dominan dari
timur sebesar 38% dengan kecepatan angin rata-rata 1.84 m/s, hasil analisis
yang disajikan dengan diagram batang menggambarkan prosentase kecepatan angin
pada kisaran 0 sampai 2.5 m/s sebesar 64.6%, 2.5 - 5 m/s sebesar 31 .6% dan 5
-7.5 m/s sebesar 3.7 %. Dari gambar di atas dapat dilihat bahwa hanya sekitar
35% kecepatan angin di Majene yang memenuhi syarat untuk digunakan sebagai
pembangkit listrik tenaga bayu. Dilihat dari kontinuitasnya maka daerah ini
kurang berpotensi ,untuk pengembangan pembangkit listrik tenaga bayu karena 65%
hari dalam setahun harus disuplai oleh pembangkit lain.
4. Hasanudin
(sumber : BMKG, 2010)
Pada gambar Windrose Plot menunjukkan bahwa arah angin didominasi oleh
angin dari tenggara yakni sebesar 38% dengan kecepatan angin rata-rata 2.6 m/s,
hasil analisis yang disajikan dengan diagram batang menggambarkan prosentase
kecepatan angin berada pada kisaran 0 sampai 2.5 m/s sebesar 66.4%, 2.5 - 5 m/s
sebesar 33.3% dan di atas 7.5 m/s sebesar 0.3 %. Dari gambar di atas dapat
dilihat bahwa di daerah Makassar didominasi angin lemah dengan kecepatan kurang
dari 2,5 m/s, walaupun rerata kecepatan angin sepanjang tahun melebihi 2,6 m/s
tetapi kontinuitasnya kurang bagus karena hanya sekitar 34% yang memenuhi
syarat untuk pembangkit listrik tenaga angin. Rerata tahunan yang besar ini
disebabkan adanya angin-angin kencang yang bertiup pada bulan-bulan tertentu.
5. Gorontalo
(sumber : BMKG, 2010)
Pada gambar Windrose Plot menunjukkan bahwa arah angin didominasi oleh
angin dari utara sebesar 52% dengan kecepatan angin rata-rata 1.22 m/s, dan
hasil analisis yang disajikan dengan diagram batang menggambarkan prosentase
kecepatan angin berada pada kisaran 0 sampai 2.5 m/s sebesar 94.3%, 2.5 - 5 m/s
sebesar 5.1 % dan 5 - 7.5 m/s sebesar 0.5 %. Gorontalo merupakan daerah yang
berbatasan dengan Laut Pasifik di sebelah utara dan di sebelah selatan
berbatasan dengan Teluk Tomini. Pada kedua sisi utara dan selatan, dibatasi
oleh perbukitan, dan di tengahnya berbentuk cekungan, letak stasiun pengamatan
meteorologinya berada di tengah cekungan tersebut sehingga angin di daerah
tersebut didominasi oleh angin-angin yang lemah.
6. Kendari
(sumber : BMKG, 2010)
Pada gambar Windrose Plot menunjukkan bahwa arah angin didominasi oleh
angin timur sebesar 32% dengan kecepatan angin rata-rata 0.9 m/s, hasil analisis
yang disajikan dengan diagram batang menggambarkan prosentase kecepatan angin
berada pada kisaran 0 sampai 2.5 m/s sebesar 99.5% dan 2.5 - 5 m/s sebesar
0.2%. Dari analisa hasil distribusi arah dan kecepatan angin menunjukkan bahwa
angin yang ada di Kendari didominasi oleh angin dengan kecepatan lemah dan
kecil kemungkinannya untuk dapat dimanfaatkan sebagai sumber energi tenaga
listrik, mengingat syarat awal untuk dikembangkan pembangkit listrik tenaga
angin dengan ,jari-jari (sudu) 1 m3 adalah daerah yang mempunyai
kecepatan angin di atas 2.5 m/s.
7. Naha
(sumber : BMKG, 2010)
Pada gambar Windrose Plot menunjukkan bahwa distribusi arah angin di
Stasiun pengamatan Naha Sulawesi Utara selama periode tahun 2003 -2008 dari
barat daya sebesar 24%, dari arah utara sebesar 20%, dari timur 20% dan dari
timur laut sebesar 20% dengan kecepatan angin rata-rata 2.66 m/s, dan hasil
analisis yang disajikan dengan diagram batang menggambarkan prosentase
kecepatan angin berada pada kisaran 0 sampai 2.5 m/s sebesar 46,0%, 2.5 - 5 m/s
sebesar 51.0% dan 5 - 7.5 m/s sebesar 3,0%.
C. Potensi
Energi Angin di Sulawesi
Potensi energi angin secara matematis dapat dihitung
dengan rumus sebagai berikut :
P = ½. c. ρ. A. Vi3. ∆T
Dengan :
P = potensi energi angin ( wattday/year)
C =
konstanta betz 16/27 (=59.3%). Angka ini menunjukkan efisiensi
maksimum yang dapat dicapai oleh rotor turbin angin.
A =
luas sapuan rotor (dianggap 1 m2)
Vi
= kecepatan angin rata-rata harian ( meter/detik )
ρ = kerapatan udara rata-rata (
kilogram/meter3)
∆T = frekuensi angin (jumlah hari dalam satu
tahun yang kecepatan rata
ratanya > 2,5 m/s)
Dari
hasil analisis data pada tahun 2003 – 2008 di atas tadi, didapatkan hasil
perhitungan potensi energi angin yang disajikan dalam tabel berikut :
(sumber : BMKG, 2010)
Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa potensi energi angin paling kecil
adalah daerah Kendari dengan potensi sebesar 344,5 wattday/year dan kecepatan
angin di atas 2,5 m/s hanya 0,4 %. Selain Kendari, Toli-Toli juga termasuk
daerah yang berpotensi kecil, yaitu 376,8 wattday/year dengan kecepatan angin
di atas 2,5 m/s lebih kecil dari Kendari, yaitu hanya sebesar 0,1 %.
Daerah-daerah tersebut tidak layak untuk dibangun sebuah PLTB. Begitu pula
dengan daerah lainnya, walaupun potensi energi yang dimiliki di atas 1000
wattday/year, namun frekuensi kecepatan angin di atas 2,5 m/s masih kurang dari
50 %.
Sebaran informasi windrose dan besarnya potensi angin di wilayah
Sulawesi dan sekitarnya dapat dilihat pada gambar di bawah ini.
(sumber : BMKG, 2010)
Dari sekian daerah tersebut, Naha merupakan daerah dengan potensi paling
besar yaitu sebesar 3455,8 wattday/year. Daerah ini juga memiliki prosentase
kecepatan angin di atas 2,5 m/s yang lebih besar dari daerah yang lain, yaitu
54 %. Dari analisis di atas, didapatkan informasi bahwa daerah Naha memiliki
potensi untuk dikembangkan pembangkit listrik bertenaga angin.
(sumber : BMKG, 2010)
Daerah Naha yang terletak di Sulawesi Utara potensi energi yang
dihasilkan antara 150 -420 wattday/month, potensi energi yang paling besar
terjadi pada bulan JJA(Juni-Juli-Agustus), kecepatan angin rata-rata harian
dalam setiap bulan tidak begitu fluktuatif, hanya sekitar 2,2 -2,9 m/s. Frekuensi hari di mana
angin bertiup dengan kecepatan lebih dari 2,5 m/s juga relatif stabil dengan jumlah 11-22 hari.
Pada musim angin Timur frekuensi cenderung tinggi demikian pula potensi
energinya juga tinggi. Untk lebih jelasnya dapat dilihat seperti pada gambar
diatas. Pada bulan Agustus potensi energi paling besar walaupun jika kita lihat
frekuensi hari dengan kecepatan angin >2,5 m/s pada bulan itu lebih rendah dari dua bulan
sebelumnya, tetapi karena kecepatan angin reratanya relatif besar, maka potensi
energinya cenderung lebih besar.
Analisa bulanan menunjukkan bahwa di daerah Naha frekuensi hari yang
mempunyai kecepatan angin lebih dari 2.5 m/s kurang dari 20 hari setiap bulan,
sedangkan potensi energinya kurang dari 500 wattday/month. Walau demikian
frekuensi dan potensi energinya cenderung stabil sehingga masih dimungkinkan
untuk digunakan sebagi pembangkit listrik tenaga angin. Untuk pengembangan
pembangkit listrik tenaga angin di wilayah tersebut dapat diprioritaskan
sebagai pembangkit sekunder untuk melengkapi pembangkit yang sudah ada.
Sumber referensi :
Suyono, Hadi. Kajian Potensi Energi Angin di Wilayah Indonesia Timur. Badan
Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. 2010